Empu Gambling

29 Juli 2008

I

ni kisah nyata sekian puluh tahun lalu, di desaku yang kucinta. Belum ada listrik, belum ada komputer, apalagi jaringan internet. Aku masih SD. Nun jauh di sana, di Hongkong atau Las Vegas, aku yakin, (walau aku belum pernah kesana) saat itu, judi pasti sudah berkembang biak dengan pesatnya. Tapi di desaku, ternyata sudah seperti Hongkong maupun Las Vegas.
Tersebutlah tetanggaku, pensiunan tentara (aku tau dari baju hijaunya yang tak pernah ganti, atau bajunya memang hijau semua), dia rela menyediakan rumahnya sebagai rumah judi. Bukan tanpa alasan, tapi dari situlah roda perekonomiannya berputar.
Dua puluh empat jam non stop, sepanjang bulan sepanjang tahun, di rumah sempit itu terjadi arena perjudian aneka warna, mulai dadu, domino, remi, thuthit, ceki dan lainnya yang saya tak tau namanya, digelar sepanjang hari. Istrinya berperan sebagai seksi akomodasi yang menyediakan makan dan minum serta rokok, yang tentu saja tidak gratis. Tamunya datang silih berganti, antar desa antar kecamatan, ada petani, ada guru, ada makelar dan ada-ada yang lain. Sang pensiunan tentara itulah si Raja Judinya atau kalau di Hongkong ya King Gambler lah. Karena dia Jawa tulen, maka dia aku beri julukan Empu Gambling ya Dewa Judi juga. Dia ini mengutip uang retribusi atau istilah lokalnya disebut cuk. Tiap putaran, si pemenang menyisihkan uangnya buat "cuk" tadi itu.
Di mana petugas keamanan, tokoh masyarakat dan tokoh agama saat itu?.
Saat itu sulit dibedakan, mana petugas keamanan, mana tokoh masyarakat dan mana tokoh agama. Semua membaur, ada yang main, ada yang nonton, ada yang memanfaatkan situasi dengan berjualan dan ada yang tidak apa2 karena tak berdaya.
Aku dimana?.
Aku ya nonton. Kalau tidak nonton, mana bisa aku nulis postingan ini.
Itulah kisah tentang Empu Gambling, yang sama sekali tak punya pertalian darah dengan Empu Gandring dalam sejarah Indonesia.
Sekarang semua sudah berubah, di bekas rumah itu berdiri tempat ibadah. Mungkin banyak yang tidak percaya, dalam jarak tak lebih dari 100 meter, disana ada Masjid, ada Gereja dan ada Vihara. Semuanya megah. Tepatnya di Desa Colo, Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus, 500 meter sebelum Makam Sunan Muria.

Postingan ini dilengkapi fasilitas pengaturan jenis dan ukuran font.
Pilih dan atur sesuai selera agar nyaman di mata. Terima Kasih.

8 komentar :

  1. Di tempatku namanya Kompetisi.
    Cuma tidak 24 jam, cuma malam aja.
    Tapi sekarang sepertinya sudah berhenti.
    Sesudah pulisi rajin menangkap penjudi.

    BalasHapus
  2. Harom, harom
    Astaghfirullah

    BalasHapus
  3. @ Mas Abdee:
    Wah, unik tuh namanya. Bisa jadi Agenda Tahunan. PNS boleh ngikut nggak Mas.

    @ Gus Yehia:
    Sekarang sudah insaf kok Gus. Trims emperannya ya. Tapi saya belon sempat benahi karena masih "gagap"

    BalasHapus
  4. Judi memang kebudayaan yang paling tua, susah dibrantas.

    BalasHapus
  5. wah, ternyata judi sudah marak di mana sejak jadul, pak mar, hehehehe .... sekarang sudah ada larangan pun masih banyak yang suka ngumpet2.

    BalasHapus
  6. @ Pak Sawali:
    Apa perlu di lokalisir ya Pak...
    Tapi saat ini sudah agak kira2, masyarakat bawah sudah tidak begitu ada kesempatan. Judi yang ada umumnya golongan menengah atas, pakai perangkat canggih terhubung ke Luar Negeri.

    BalasHapus
  7. Di tempat saya malah ada yang taruhannya istri Pak. Ngeri...

    BalasHapus
  8. Perjudian merajalela semata karena persoalan Ekonomi.
    Mau dibrantas kayak apa, selama perekonomian masih carut marut, judi akan tetap ada. Bukankah hidup juga perjudian???.

    BalasHapus

Random Post

Back to top

Sugeng

Selamat
Hari

Have
a nice day

~mars~