E
ntah sudah berapa kali ejaan dalam Bahasa Kita mengalami penyempurnaan, tapi dalam implementasinya pasti ada yang direpotkan. Ejaan lama sekali yang saya ketahui (karena tidak mengalami) adalah "oe" sebagai "u". Lalu penyempurnaan tahap dua (yang saya alami sendiri) adalah "tj" jadi "c", "dj" jadi "j" dan "j" jadi "y". Kalau itu menyangkut kata baku mungkin tidak begitu bermasalah, tapi ketika berhubungan dengan "istilah" maupun "nama", entah nama tempat, nama orang atau yang lainnya, situasinya demikian menyulitkan. Belum lagi yang berhubungan dengan "nama asing".
Karena saya mengalaminya sendiri, maka "kesulitan" itu demikian terasa. Nama Desa saya berubah, nama saya berubah, nama bulan berubah dll dll.
Saat pertama dilaksanakan, kesulitan yang paling besar adalah bagi mereka2 yang saat itu masih sekolah, karena tuntutan pertama pasti di dunia akademik. Saat itu saya masih SD. Kesulitan lainnya adalah tentang "singkatan", karena dengan penyesuaian tersebut, singkatan jadi begitu hancur. Contoh kecil saat itu adalah DAMRI, yang sudah enak ditelinga sebagai Djawatan Angkutan Motor Republik Indonesia, lalu harus berubah menjadi JAMRI. (Mely Jamri kali ye..). Beruntunglah orang tidak kurang akal, akhirnya singkatan sejenis tidak dipandang sebagai singkatan tetapi dianggap sebagai sebuah "kata" atau suatu "istilah". (lihatlah Bank BNI). Menurut saya, bahasa memang susah, tetapi bahasa dibuat ya karena untuk mengatasi kesusahan. Bingung kan?. Saya juga bingung kok. Apalagi kalau sudah sampai yang "ndakik2", saya bingung mana yang benar, kuitansi apa kwitansi, Februari apa Pebruari, Ujungpandang apa Ujung Pandang. Puncaknya adalah Yogyakarta apa Jogjakarta apa Jogja apa Yogya apa Ngayogyakarta apa Yogyes?.
Untuk bernostalgia, saya mau nulis satu baris menggunakan ejaan campur2.
"Kantjil njolong timoen, monjet tjari kajoe djati"
(Wah, ngetiknya musti ngati-ati...)
Karena saya mengalaminya sendiri, maka "kesulitan" itu demikian terasa. Nama Desa saya berubah, nama saya berubah, nama bulan berubah dll dll.
Saat pertama dilaksanakan, kesulitan yang paling besar adalah bagi mereka2 yang saat itu masih sekolah, karena tuntutan pertama pasti di dunia akademik. Saat itu saya masih SD. Kesulitan lainnya adalah tentang "singkatan", karena dengan penyesuaian tersebut, singkatan jadi begitu hancur. Contoh kecil saat itu adalah DAMRI, yang sudah enak ditelinga sebagai Djawatan Angkutan Motor Republik Indonesia, lalu harus berubah menjadi JAMRI. (Mely Jamri kali ye..). Beruntunglah orang tidak kurang akal, akhirnya singkatan sejenis tidak dipandang sebagai singkatan tetapi dianggap sebagai sebuah "kata" atau suatu "istilah". (lihatlah Bank BNI). Menurut saya, bahasa memang susah, tetapi bahasa dibuat ya karena untuk mengatasi kesusahan. Bingung kan?. Saya juga bingung kok. Apalagi kalau sudah sampai yang "ndakik2", saya bingung mana yang benar, kuitansi apa kwitansi, Februari apa Pebruari, Ujungpandang apa Ujung Pandang. Puncaknya adalah Yogyakarta apa Jogjakarta apa Jogja apa Yogya apa Ngayogyakarta apa Yogyes?.
Untuk bernostalgia, saya mau nulis satu baris menggunakan ejaan campur2.
(Wah, ngetiknya musti ngati-ati...)
Postingan ini dilengkapi fasilitas pengaturan jenis dan ukuran font. Pilih dan atur sesuai selera agar nyaman di mata. Terima Kasih. |
Saja tidak tahoe, karena waktoe itoe saja beloem tjoekoep oemoer
BalasHapuswah, guru matematika ternyata fasih juga bicara soal bahasa, haks. setahu saya utk nama diri, baik orang maupun benda yang sudah "paten" ndak perlu disesuaikan dengan eyd. yang berlaku adalah ejaan saat nama diri tersebut muncul.
BalasHapusiki blogem iku blogku. wes sakkarepem lah :D
BalasHapusSulit emang pak, tapi enak pakai bahasa gaul ajalah pak salam kenal
BalasHapus@ Mas Ahmad Soleh:
BalasHapusMakasih komentarnya, kalau ke Kendal mampir ya. Saya sebulan sekali juga pulang ke Colo.
@ Mantan Kyai:
BalasHapusWah, aku seneng dengan kata2 sak karepem, mengingatkan aku saat di Kampung. Meriem, Bukuem, Tasem, Sandalem...
wah penjelasannya mengalahkan instruktur dar Pusat Pengembangan Bahasa Indonesia neh, mantabs.....
BalasHapussalem kenalen Kang....
@ Gus Pangakoe:
BalasHapusWah... Namanya pakai ejaan lama juga ya...
saia lebih soeka daripada edjaan jang baroe.
BalasHapus@ Mas Abdee:
BalasHapusSaia djoega begitoe, semangkin baroe semangkin mak njus...
Boeng Mar, nama saja djoega pakek edjaan jang lama lho, padahal lahir setelah pak Mar, tapi nama pak mar kok tidak Marsoedijanto ja.... Apa doeloe pernah diganti nama karena (noewoen sewoe) sakit sakiten. Tape eh tapi apalah arti seboeah nama, jang penting ken orangnja tho....
BalasHapusEdjaan tak pernah sempoerna karena diperbaharui teroes. Djadi, tak ada edjaan jang baik dan benar, karena beloem pernah toentas.
BalasHapusHidoep Edjaan Koeno.
ejaan yang bikin pusing
BalasHapusStop Dreaming Start Action
untung masa sekolah dulu aku nggak pernah ngalami masa2 menggunakan edjaan lama kalau sampai ngalami bisa2 waktu itu nilai bahasaku tambah jeblok
BalasHapus